Hambatan dalam pengembangan EBT ( Energi Baru Terbarukan ) akan menjadi kendala untuk transisi menuju penggunaan dan pemanfaatan sumber energi yang lebih bersih.
Indonesia adalah salah satu negara yang perlahan beralih menuju ke pemanfaatan dan pengembangan EBT. Namun, ternyata di indonesia masih ada beberapa hambatan dalam pengembangan EBT.
Salah satu Hambatan dalam pengembangan EBT adalah biaya untuk infrastruktur teknologi dan ketenagakerjaan yang masih belum mampu menguasai teknologi terbarukan tersebut.
Meskipun adanya hambatan dalam pengembangan EBT, beberapa provinsi di indonesia telah berhasil memanfaatkan dan mengembangkan sumber EBT tersebut, dengan potensi sumber energi yang dimiliki setiap masing – masing daerah.
Hambatan dalam pengembangan EBT ini seharusnya segera cepat diatasi dan tentunya sangat disayangkan, terlebih lagi indonesia adalah salah satu negara dengan potensi pengembangan dan pemanfaatan EBT cukup besar.
Berikut 5 Hambatan Dalam Pengembangan EBT di Indonesia :
1. Kurangnya SDM yang Menguasai Teknologi
Dalam transisi energi, tidak hanya menyiapkan modal untuk investasi awal pembangunan infrastruktur, namun juga harus menyiapkan SDM yang mampu menguasai teknologi terbarukan.
Kualitas SDM yang tergolong masih rendah dan belum mampu menguasai teknologi menjadi hambatan dalam pengembangan EBT, terutama di negara – negara berkembang.
Dengan kendala tersebut, banyak negara berkembang lainnya termasuk di indonesia yang membutuhkan ketenagakerjaan asing dan ada juga yang bertahan dengan penggunaan energi fosil untuk menghasilkan energi.
Mengingat indonesia adalah negara dengan potensi EBT yang cukup besar, tentu sangat disayangkan jika kualitas SDM belum mampu dan mengharuskan tenagakerjaan asing untuk mengelola teknologi infrastruktur EBT tersebut.
Salah satu cara mengatasi hambatan tersebut di sektor pendidikan adalah memberikan edukasi tentang transisi energi terbarukan dan dampak penggunaan energi fosil bagi masa depan melalui program kurikulum di sekolah.
2. Biaya Teknologi dan Perawatan yang Tinggi
Seperti yang telah kita ketahui, biaya merupakan salah satu kendala dalam transisi energi berkelanjutan,terutama pada negara berkembang.
Pengolahan sumber energi alternatif membutuhkan teknologi yang canggih dan modern, tentunya hal ini akan membutuhkan biaya investasi awal yang cukup tinggi untuk pembebasan lahan dan pembangunan infrastruktur.
Selain itu, teknologi EBT juga membutuhkan biaya perawatan juga tinggi. Perawatan meliputi : pemeliharaan infrastruktur, pergantian komponen yang rusak dan biaya operasional lainnya.
Infrastruktur teknologi EBT juga membutuhkan biaya untuk perawatan dan pemeliharaan dengan rutin agar selalu dapat menghasilkan energi tanpa terkendala.
Mengatasi hambatan ini, dapat dilakukan kolaborasi dan kemetraan pemerintah dengan pihak swasta agar dapat membantu mengurangi biaya teknologi EBT. Selain itu, dukungan dan kebijakan pemerintah sangat berpengaruh untuk mengatasi hambatan biaya.
3. Dibutuhkannya Feedstock Untuk Biomassa
Energi harus tersalurkan dan dapat dimanfaatkan oleh publik. Pada energi terbarukan, sumber energi yang dihasilkan sangat berpengaruh dengan kondisi alam.
Menjaga kestabilan dengan menjaga pasokan energi tentu sudah menjadi tantangan agar pemanfaatannya dapat diandalkan bagi EBT.
Salah satu upaya untuk menjaga pasokan energi adalah dengan menyiapkan feedstock atau bahan baku pada Biomassa. Biomassa adalah materi organik yang dihasilkan dari sisa – sisa tanaman, kayu, limbah hewan, dll yang diolah untuk menghasilkan energi atau yang biasa disebut bionergi.
Menjaga feedstock untuk kebutuhan pasokan energi agar energi dapat tersalurkan ke publik dengan stabil tanpa terkendala apapun sudah menjadi tantangan dan kendala pada Biomassa.
Kendala biomassa adalah membutuhkan lahan yang luas untuk tanaman dan petani yang tidak diberikan subsidi pupuk sehingga mengakibatkan produksi biomassa menjadi berkurang.
Selain itu, perubahan iklim dan musim juga dapat mempengaruhi pertumbuhan dan ketersediaan biomassa.
Dalam mengatasi hambatan ini, bisa dilakukan dengan pengembangan infrastruktur dan logistik yang dibutuhkan untuk mengumpulkan, mengangkut dan mengolah biomassa.
Selain itu, bisa dilakukan dengan kerjasama antara pemerintah dan petani seperti memberikan subsidi bibit ataupun pupuk untuk meningkatkan produksi biomassa.
4. Adanya Sosial Barrier dari Masyarakat
Sosial barrier atau hambatan sosial sudah menjadi kendala yang sering terjadi dalam transisi energi dan pengembangan EBT.
Salah satu bentuk hambatan sosial dalam pengembangan energi terbarukan adalah pembebasan lahan untuk teknologi infrastruktur.
Selain itu, pembangunan PLTG ( Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi ) yang dapat merugikan masyarakat sekitar. Dikarenakan mengambil pasokan air tanah dalam jumlah yang besar, sehingga terjadi penurunan jumlah pasokan air tanah dan tentunya hal ini akan berdampak buruk ke masyarakat sekitar.
Seharusnya, masyarakat dan pemerintah harus sama – sama memberikan dukungan penuh untuk transisi energi berkelanjutan.
Mengatasi hambatan ini, pemerintah bisa memberikan edukasi ke masyarakat melalui kegiatan, seperti : kampanye atau seminar tentang pentingnya transisi energi berkelanjutan untuk masa depan.
Masyarakat juga ikut berpartisipasi aktif dengan mengikuti kampanye ataupun seminar yang diberikan pemerintah dan mengurangi penggunaan energi fosil.
Contoh sederhana mengurangi penggunaan energi fosil yang mudah dilakukan adalah dengan memilih berjalan kaki atau berpeseda daripada kendaraan bermotor jika bepergian dengan jarak dekat.
5. Harga Energi Fosil yang Murah dan Stabil
Beberapa negara memberikan subsidi untuk industri energi fosil dan masih mempertahankan pembangkit konvensional daripada EBT.
Dengan subsidi tersebut, harga jual energi fosil jadi lebih rendah dan cukup efisien untuk menghasilkan energi. Berbeda dengan EBT, seperti biomassa yang kemungkinan tidak mendapatkan subsidi sebanding dengan energi fosil.
Selain itu, teknologi infrastruktur untuk pengolahan sumber energi fosil juga sudah ada sejak lama dan jika dilakukannya transisi energi berkelanjutan, tentu membutuhkan modal investasi awal yang cukup besar untuk membangun infrastruktur, seperti : pembangunan panel surya, Turbin angin, Turbin air, dll.
Energi fosil juga dinilai lebih stabil untuk menghasilkan energi, selagi bahan untuk sumber energinya masih ada. Berbeda dengan EBT yang bersifat intermiten dan sangat bergantung pada kondisi alam.
Contoh mudahnya saja, Pembangkit Listrik Tenaga Surya ( PLTS ) membutuhkan cahaya matahari untuk menghasilkan energi dan saat kondisi mendung atau saat di malam hari tentunya energi yang diserap lebih sedikit dan energi yang dihasilkan juga lebih sedikit.
Tetapi, hambatan dalam pengembangan EBT ini dapat diatasi dengan menyiapkan cadangan energi, seperti baterai. Jadi, energi tetap stabil dalam kondisi alam atau cuaca apapun.
Itulah 5 hambatan dalam pengembangan EBT di indonesia. Hambatan dalam pengembangan EBT ini, sebaiknya segera cepat diatasi agar dapat menciptakan energi yang bersih.
Cara yang efektif untuk mengatasi hambatan dalam pengembangan EBT ini, bisa dengan kerjasama Masyarakat dan pemerintah untuk memberikan dukungan penuh transisi energi berkelanjutan.
Salah satu contoh bentuk dukungan penuh dari pemerintah untuk transisi energi berkelanjutan di sektor pendidikan adalah memberikan edukasi dan penelitian yang dapat dilakukan tentang energi terbarukan melalui program kurikulum.
Bentuk dukungan dari masyarakat adalah berpartisipasi dengan aktif mengikuti acara program aktif yang diadakan oleh pemerintah tentang energi terbarukan, melalui : seminar, kampanye, dll. Serta mengurangi penggunaan energi fosil, seperti : lebih memilih berjalan kaki atau bersepeda daripada menggunakan kendaraan bermesin jika bepergian dengan jarak dekat.
Baca berita terupdate lainnya dari Mojokbaca.com di Google News.